Selasa, 12 Oktober 2010

Hubungan Jarak Tulang Pubis Terhadap Produksi Telur Itik Lokal LOMBOK (m.imran)


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak yang cukup berpotensi untuk menghasilkan telur dan cukup disenangi kehadirannya ditengah masyarakat adalah ayam dan itik. Dari segi pemeliharaan, itik lebih sederhana sehingga masyarakat lebih mudah memeliharanya, lebih kebal terhadap penyakit dan pemberian pakannya lebih sederhana. Sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional dan bersifat sampingan, mengakibatkan ternak itik terlihat dan manfaatnya belum dirasakan oleh masyarakat sehingga masih sedikit sekali yang memelihara ternak itik, sebenarnya itik sangat berpotensi untuk menghasilkan telur baik untuk dikonsumsi maupun untuk ditetaskan (Rasyaf, 1996)
Proses bertelur bangsa unggas tidak selalu harus dikaitkan dengan terbentuknya individu baru. Hal ini mempunyai arti bahwa  tanpa proses perkawinan antara jantan dan betina maka telur akan tetap keluar sesuai dengan proses reproduksi pada masa subur. Hal ini berbeda dengan mamalia dan beberapa makhluk lainnya, proses perkawinan antara jantan dengan betina sangat diperlukan dalam kelangsungan populasinya dan keseimbangan biologis- ekologisnya (Yuanta, 2004).
            Pembentukan tulang yang baik pada pertumbuhan uniform  pada unggas merupakan aspek yang perlu mendapat perhatian karena kondisi ini akan memacu dewasa kelamin (sexual maturity). Bobot  tubuh yang seragam pada suatu flock kemungkinan mempunyai ukuran tulang yang bervarisi. Hal ini akan berdampak pada rendahnya keseragaman dewasa kelamin  setelah photo-stimulation.Oleh karena itu perlu memonitor konformasi tubuh yang merupakan jumlah pendagingan, otot dan lemak pada tulang unggas.  Jumlah pendagingan (fleshing) akan berbeda pada umur yang berbeda pula.  Unggas betina yang over fleshed dan  under fleshed akan mencapai puncak produksi lebih rendah dan gagal menghasilkan jumlah telur yang ideal untuk suatu flock.
            Ada empat aspek untuk memonitor konformasi tubuh pada unggas bibit (breeder)  yaitu bagian dada (breast), sayap, tulang Pubis dan lemak abdominal (Arbor Acres, 2006 ). Penelitian oleh Satterlee dan Marin (2004) pada puyuh menunjukkan bahwa pubic spread (PS), yang merupakan jarak antara tulang pubis unggas betina,  dapat digunakan untuk mengukur  status perkembangan alat reproduksinya.  Terdapat hubungan antara  umur pertama bertelur dan PS, dan ini  terjadi pada hari ke 49 sampai 52 hari masa pemeliharaan. Menurut Robinson dkk  (2006), faktor manajemen yang berpengaruh terhadap bone density  adalah  intake nutrien dan progr  photostimulasi. Menurut Clark dkk., (2008),  kerapuhan pada tulang Pubis terjadi pada unggas petelur dengan produksi tinggi. Namun penelitian mengenai pendugaan produksi melalui pengamatan eksterior tulang Pubis masih terbatas khususnya pada itik, oleh karena itu perlu kajian yang lebih mendalam sehingga dapat memberikan gambaran potensi produksi itik dengan cara yang mudah, tepat dan benar.

Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Adapun  tujuan penelitian yang dilakukan ialah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengaruh lebar tulang pubis terhadap produksi telur
2.      Untuk mengetahui pengaruh jarak tulang pubis, bobot  badan dan jarak tulang Pubis dengan tulang dada terhadap total produksi telur

Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian yang dilakukan ialah sebagai berikut :
1.      Dengan mengetahui hubungan antara lebar tulang pubis dengan produksi telur, maka dapat memilih ternak produktif secara eksterior.
2.      Sebagai sumber informasi kepada masyarakat  cara  memilih ternak yang produktif dan yang tidak produktif lebih awal sehingga mengurangi waktu dan biaya pemeliharaan
3.      Sebagai referensi atau bahan pembanding untuk penelitian-penelitian berikutnya.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Mengenal Ternak Itik Secara Umum
            Itik merupakan salah satu jenis unggas air (Water Fowl) yang termasuk Kingdom animal, phylum vetebrata, class aves, sub class neornitas, ordo anseriformes, familylammelirosetress, genus anatidae dan species anas (Srigandono, 1991).
            Itik merupakan hewan pemakan segala (omnivora) mulai dari biji-bijian, rumput, ganggang, tumbuhan air, binatang-binatang air, umbi-umbian dan siput. Itik memiliki ukuran kaki yang lebih kecil dibandingkan dengan unggas lainnya, tetapi memiliki selaput renang, bulunya tebal dan bermiyak sehingga mampu lama berenang di air. Kandungan minyak dalam bulu mampu menghalangi air sehingga air tidak membasahi bulu-bulu itik . Dibanding dengan ternak unggas lainnya, itik memiliki keunggulan mempertahankan produksi telur lebih lama dari pada ayam (Cahyono, 2000).
            Sebelum didomestikasi, itik mengalami penyebaran yang lebih luas dari pada unggas lainnya. Tempat–tempat pemukimannya dapat dijumpai adalah di Amerika Serikat, Kanada dan benua Eropa. Biasanya bermigrasi pada pergantian musim dari Eropa Utara ke Eropa Selatan sampai Afrika Utara. Dapat pula dijumpai di Amerika Selatan, Inggris, Malaysia, Tiongkok dan Pilipina (Samsosri, 1990).
            Keberhasilan itik lokal sebagai ternak pendatang, mampu beradaptasi baik dengan lingkungan di Indonesia membuat ternak tersebut dapat hidup dan berkembangbiak dimana saja. Hal ini pula yang menyebabkan tingginya populasi itik di Indonesia. Dari postur tubuh itik lokal tergolong dalam bangsa Indian Runner (Itik Indonesia) yang tercatat sebagai itik petelur yang baik (Bhartono, 2001).
Itik asli Indonesia berjalan dengan posisi tubuh yang hampir tegak, tidak horizontal seperti itik mamalia (entok), bentuk tubuh langsing dan dalam posisi berdiri terlihat seperti botol, kepala kecil, leher kecil, kaki berdiri tegak, jarak antara kedua kaki ini berjauhan sehingga bertahan dalam menahan bobot  badan. Kulit selaput renang yang terdapat disela jari kaki bersifat lunak, elastis dan tidak mudah robek (Muslim, 1992).
Telur ternak itik sama tua keberadaannya dengan ayam kampung, karena itik dan ayam kampung dipelihara sejak lama. Hal ini yang menyebabkan muncul istilah ”itik kampung”. Untuk ternak unggas yang dipelihara dikampung- kampung dengan sistem berpindah atau sistem nomaden. Sebenarnya itik komersil mampu menghasilkan telur seperti performans telur ayam ras, apabila dipelihara secara intensif seperti ayam ras (Rasyaf, 1991).
Menurut Suharno (1996), ternak itik mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan ternak unggas lainnya yaitu : mampu mempertahankan produksi lebih lama dengan pengelolaan yang sederhana, dapat berproduksi dengan baik, disamping itu tingkat kematian (mortalitas) umumnya kecil serta dapat memanfaatkan pakan yang berkualitas rendah.
Reksohadiprojo (1990) menyatakan, bahwa itik Khaki Cambell dapat memproduksi telur dengan rataan 250-270 butir/ekor/tahun dengan bobot  rataan telur 60 g  dengan warna kerabang putih, sedangkan itik Runner (Itik Indonesia) dapat memproduksi telur sebayak 200-250 butir/ekor/tahun dengan bobot telur rataan 70 g/butir (Whendarto, 1986).
Itik Khaki Cambell memperlihatkan tingkat produksi telur 27% lebih tinggi dibandingkan dengan itik Alabio maupun itik Bali dan 33% lebih tinggi dari itik Tegal (Srigandono, 1991 disitasi Ismoyowati, 2006).

Kebutuhan pakan dan nutrisi ternak itik
            Itik merupakan tipe unggas yang paling efisien dalam mengubah butiran yang jatuh pada  tanah sawah atau lahan, serangga dan bahan tanaman lain menjadi daging atau telur (Khanum, 2002 disitasi Dedi, 2009). Dasar menghitung kebutuhan nutrisi itik umumnya seperti yang dilakukan pada ayam tetapi kebutuhan nutrisi dari kedua spesies ini berbeda, baik untuk pertumbuhan, komposisi tubuh, phisiologi pencernakan dan kecepatan metabolis dasar (basic metabolic rate) (Siregar and Farrell, l980 disitasi Resi, 2009). 
            Menurut NRC (l994) kebutuhan protein dan  Metabolisme Energi  (ME) itik Peking Putih dari umur  0-2 minggu adalah 22 %  dengan ME  12.1. MJ/kg, dari umur 2 sampai 7 minggu adalah 16 % dan  ME 12,5 MJ/kg.  Dilaporkan oleh Ali dkk., (1992) dalam  Khanum (2002) yang didisirtasi oleh Resi, (2009), bahwa   protein itik periode awal adalah 20 % dan 18 % untuk periode pertumbuhan  dan akhir.  Tabel 1 menunjukkan kebutuhan protein  dan energi metabolis ternak itik bervariasi  tergantung dari jenis itiknya.
            Konsumsi pakan ternak itik sama dengan jenis unggas lain akan meningkat karena umur, suhu dan palatabilitas.  Disitir oleh  Khanum  (2002) dari penelitian GuiRong dan Zhixin (l998) dalam Ismoyowati dkk., (2006), bahwa  pemberian pakan harian (daily feeding) sebanyak  4 kali dengan interval pemberian 6 jam menunjukkan konversi pakan terbaik.  Menurut Forbes (l995) disitasi Resi, (2009) bila itik diberi  pakan  kombinasi pellet protein tinggi dan protein rendah, itik akan mengkonsumsi pakan protein tinggi  lebih banyak dari pada protein rendah tetapi intake akan menurun pada pakan dengan konsentrasi protein yang  sangat tinggi. Duckweed mengandung serat kasar tinggi dan kandungan energinya  rendah tetapi itik mampu meningkatkan konsumsinya untuk memenuhi kebutuhan energinya, karena itik  mempunyai palatabilitas yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitiannya yang menyimpulkan bahwa total intake bahan kering pakan yang mengandung duckweed secara signifikan lebih tinggi dari kontrol. Itik mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk menyesuaikan feed intakenya sehingga konsumsi metabolisme energinya relatif konstan.


Proses Pembentukan Telur
            Pertumbuhan dan perkembangan telur dimulai pembentukan kuning telur (Yolk) didalam ovarium  betina. Ovarium dari bangsa unggas ini terdiri dari 3000 atau lebih ”noda kuning” (calon kuning telur) dan dari jumlah itu ada sekitar 5 atau 6 kuning telur yang lebih besar atau folikel dan sebuah folikel yang paling besar yang berwarna keputihan. Bila ”noda kuninng” ini telah berkembang sempurna menjadi kuning telur, maka folikel yang siap keluar itu mendekati garis tipis stigma didalam infundibulum dan pada bagian ini terjadi pertemuan  dengan sel jantan (bila unggas betina itu dikawinkan dengan pejantan). Didalam infundibulum, kuning telur akan masuk ke daerah magnum. Pada saat itu akan disintesakan 50% dari albumen kental yang menyelimuti kuning telur tersebut (albumen tersebut juga dengan putih telur) dan sebagian besar dari albumen perotin dikeluarkan di bagian ini pula. Albumen itu adalah muci dan globulin yang merupakan 10% dari total albumen dan albumen menempati 90% dari total albumen tersebut. Ketiga albumen itu memegang peranan penting didalam pembentukan struktur fisik dari albumen tersebut  (Yuanta. 2004).
Pembentukan selaput telur diwujudkan didalam isthmus, selaput ini  akan  berguna untuk melindungi telur dari ganggan luar, dan bertindak sebagai benteng sebelum gangguan luar itu masuk merembes ke dalam putih telur. Di bagian ini ditambahkan juga air, Na, K dan garam. Waktu terlama ada di uterus, yaitu selama 20 jam. Di bagian ini kuning telur dan putih telur diselimuti dengan kulit telur (disebut pula dengan kerabang atau cangkang) dan pada bagian ini kerabang dilapisi lagi dengan selaput halus untuk melindungi pori–pori telur. Waktu yang demikian lama menunjukan bahwa peranan kerabang itu sangat penting dan sulit pembentukannya, dan kerabang ini yang berperan sebagai benteng utama isi telur. Selama ada di uterus ini juga ditambahkan pigmen pada kerabang yang memberikan warna kulit telur menjadi putih, kecoklatan, kehijuan atau bintik – bintik hitam. Pigmen telur ini berasal dari pigmen darah hemoglobin. Untuk itu ada dua pigmen utama yang paling berperan, yaitu porphyrins yang ”berasal” dari hemoglobin yang responsif untuk menghasilkan warna kulit telur yang kecoklatan .        Kemudian sianin yang responsif untuk menghasilkan warna kulit telur biru dan hijau (pada kulit telur itik, bebek dan sejenisnya). Warna kulit telur tidak selalu identik dengan warna  bulu ayam tersebut (Rasyaf,1991).

Sistem Hormonal
Hormon adalah substansi kimia spesifk yang dihasilkan oleh kelenjar tubuh (glandula endokrin) yang langsung dicurahkan masuk kedalam aliran darah dan dibawa kejaringan tubuh untuk membantu dan mengatur fungsi fisiologis (Sturkie, 1987). Selain pada kelenjar tubuh, hormon juga dapat diproduksi oleh otak dan saluran pencernaan (Yuanta, 2004).
Sistem reproduksi betina berfungsi pertama-tama melalui stimulasi hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone) dari pituitary anterior, yang menyebabkan terjadinya perkembangan folikel-folikel yang telah dewasa (yolk). FSH secara normal dirangsang oleh peningkatan periode pencahayaan. Secara alami, peningkatan itu disebabkan oleh bertambah lamanya siang hari pada musim semi. FSH dapat diproduksi melalui rangsangan tersebut untuk mulai menghasilkan hormon estrogen dan progesteron. Estrogen menyebabkan peningkatan kadar kalsium, protein, lemak, vitamin dan substansi lainnya di dalam darah, yang diperlukan untuk pembentukan telur. Estrogen juga merangsang peregangan tulang pubis dan pembesaran vent guna mempersiapkan ayam betina untuk bertelur. Progesteron berperan terhadap kelenjar hypothalamus untuk memproduksi LH (Luteinizing hormone) dari pituitary anterior, yang menyebabkan pelepasan yolk yang sudah masak dari ovarium ke funnel atau infundibulum. Apabila pada saat itu terdapat sperma dan membuahi, akan dihasilkan telur yang fertil. Sebaliknya, apabila  ada sperma, produksi tetap akan terus berlangsung, tetapi yang dihasilkan adalah telur infertil (Masitta, 2007).

Kemampuan Produksi Telur
            Informasi mengenai kemampuan produksi telur itik lokal sangat berangam. Chavez dan Lasmini (1978) disitasi Resi (2009) melaporkan bahwa itik Tegal mempunyai kemampuan propduksi lebih tinggi dibandingkan itik Bali, itik Alabio dan itik Khaki Campbell. Hardjosworo dkk., (1980) melaporkan bahwa produksi itik Tegal lebih rendah dibandingkan itik Mojosari, namun lebih tinggi produksi itik Bali. Hasil penelitian Tamsil dan Indarsih (2004) mengguanakan duckweed dalam pakan ternak itik lokal semenjak bertelur pertama selam 9 minggu pengamatan rata-rata produksi telur dapat mencapai 31,25 %.
            Kemampuan produksi telur itik Tegal, itik Alabio, itik hasil silang antara itik Tegal dengan Alabio dan itik Megelang dalam satu masa peneluran adalah 144,87; 143,87; 138,55 dan 160,90 butir dengan rataan bobot telur masing-masing adalah 66,70; 63,73; 68,29 dan 64,95 g/butir (Srigandono dan Sarengat, 1990). Bobot telur pertama itik lokal hasil penelitian Tamsil dkk., (1999) yang melakukan pembatasan pakan sebesar 20 dan 40 % ad libitum masing-masing sebesar 54,38 dan 51,78 g/butir lebih besar dibandingkan dengan kelompok itik yang diberi pakan ad libitum, yaitu 48,98 g/butir.

Kualitas Telur Itik
Telur terdiri dari kerabang telur, putih telur dan kuning telur. Berdasarkan bobot  telur, perbandingan antara ketiga komposisi tersebut adalah 12,0 % kerabang telur ; 52,6 % putih telur dan 35,4 % kuning telur (Campbell and Lasley, 1997).
Kualitas telur ditentukan oleh 2 faktor yakni faktor luar meliputi bentuk, warna, tekstur, keutuhan dan kebersihan kulit. Sedangkan faktor isi telur meliputi kekentalan putih telur, warna serta posisi kuning telur dan ada tidaknya noda-noda pada putih dan kuning telur (Haryoto, 1990).
Mutu telur dapat ditentukan secara eksternal dan internal. Mutu eksternal meliputi bobot telur, indeks bentuk telur, warna kerabang dan teksturnya. Kualitas internal meliputi pH putih telur, pH kuning telur, indek kuning telur, indek putih telur, Haugh Unit (HU), warna kuning telur, dan tebal kerabang (Winter and Funk, 1960 disitasi Hanartani, 1990).
Telur itik mengandung zat gizi yang hampir sama dengan telur ayam hanya ukuran telur lebih besar, koagulasi albumen pada suhu rendah lebih cepat dan kerabang telur lebih tebal. Telur itik umumnya berukuran besar dan warna kulitnya ada yang putih sampai hijau kebiruan. Telur itik mempunyai bobot  rataan 60-75 g  (Sarwono, 1986 disitasi Utama, 2001 dalam Resi, 2009).
Bentuk telur pada umumnya ada lima macam yaitu spherical, elliptical, oval, biconical, dan conical. Bentuk yang baik adalah oval. Indek bentuk telur dari beberapa spesies rataan 50-90 (Hanartani, 1990).
Indeks putih telur merupakan perbandingan antara tinggi putih telur kental dengan diameter rataan dari putih telur kental (Wotton, 1978). Indek putih telur segar antara 0,050-0,174 (Romanoff and Romanoff, 1963 disitasi Hanartani 1990).
Indeks kuning telur merupakan perbandingan antara tinggi kuning telur dengan diameter kuning telur (Wotton, 1978). Telur yang baru mempunyai indeks kuning telur antara 0,30-0,50. Penurunan indeks kuning telur disebabkan oleh masuknya air dan putih telur kedalam kuning telur, sebagai akibat adanya perbedaan tekanan osmosis antara putih telur dan kuning telur, sehingga kuning telur menjadi encer (Romanoff and Romanoff, 1963).

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Telur
Faktor yang paling berpengaruh  terhadap produksi telur adalah konsumsi pakan, untuk itu perlu diberikan nutrisi yang cukup dalam ransum sehingga konsumsi pakan menjadi cukup.
Pan dkk., (1981) disitasi Resi (2009) Menyatakan bahwa, peningkatan protein dari 15% menjadi 17,5% dapat meningkatakan produksi telur itik.
            Menurut Setiawan (2009) bahwa, faktor yang dapat menyebabkan produksi telur turun, yaitu: kualitas telur itu sendiri, mutu bibit, kecukupan nutrisi, kesehatan ayam, kondisi lingkungan, dan tatalaksana pemeliharaan. Agar produksi telur mencapai optimal, maka harus disertai dengan konsumsi ransum yang cukup. Nafsu makan yang turun dapat menghasilkan bobot  telur yang rendah. Produksi telur tidak hanya bergantung pada bobot  badan yang tercapai saat memulai produksi telur, tetapi juga pada perkembangan saluran pencernaan dan reproduksi. Permasalahan yang sering dialami peternak adalah produksi telur rendah atau penurunan produksi telur secara tiba-tiba. Penyebab umum menurunnya produksi telur meliputi: kurangnya lama penyinaran, nutrisi tidak cukup, penyakit, dan umur yang semakin tua dan stres.




Tulang Pubis
Mekanisme peneluran, keluarnya telur dari oviduct (oviposition) merupakan hasil kerja sama yang dikoordinasi oleh faktor fisiologis antara lain, otot uterus dan relaksasi vagina untuk melepaskan telur, aktifitas kontraksi uterus meningkat setiap terjadi peneluran, baik peneluran normal maupun peneluran prematur. Relaksi peneluran tergantung pada hormon agr inavastosin (oksitosia) yang dieksekresi oleh hormon hipofise  posterior dan hormon prostaglandin yang diproduksi oleh ovarium dan uterus. Ovarium berperan penting sebelum dan sesudah pemasakan ovum, karena ovulasi tidak akan terjadi sebelum terjadi oviposisi. Hormon agrinin (oksitosin) bersama prostaglandin menyebabkan kontraksi uterus dan relaksasi vagina, sehingga terjadi oviposisi prematur. Estrogen yang dihasilkan oleh ovarium berperan bagi perkembangan oviduct, mengatur keseimbangan kalsium saat terbentuknya kerabang telur, perkembangan tulang pubis dan bulu. Hormon estrogen mempengaruhi perkembangan tulang Pubis dan kloaka, sehingga mempermudah peneluran (Yuanta, 2004).
Memprediksi kemampuan produksi melalui tulang pubis dapat diukur menggunakan jari (Gambar 1). Ayam yang dalam kondisi produksi baik ditandai oleh  pembesaran bagian vent dan  nampak lembab (basah). Sebaliknya, ayam yang kurang produktif ditandai dengan mengecilnya vent dan kering (Gambar 2)   (Hamre,2008)

 









Gambar 1.  Cara mengukur lebar tulang pubis pada ayam petelur.







 








Gambar 2.  Ayam pada kondisi sedang produksi ditandai oleh vent yang lembab dan besar (kiri) sedangkan vent yang kecil dan mengering ditemukan pada ayam yang tidak produksi

Pengaruh  umur terhadap  jarak tulang  pubis  dapat dilihat pada Tabel 2  Jarak tulang pubis akan tergantung pada bobot  badan, umur saat stimulasi sinar (light stimulation) dan perkembangan alat reproduksi.

Tabel. 1. Jarak tulang pubis berdasarkan umur pada ayam broiler bibit
Umur
Jarak tulang pubis
12 minggu (84 hari)
Tertutup
21 hari sebelum telur pertama 
1 1/2  jari
10 hari sebelum telur pertama 
 2-2 1/2 jari
Pada saat mulai bertelur
3 jari
Sumber : Arbor Acres, (2006)




MATERI DAN METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
Penelitian ini menggunakan 90 itik lokal Lombok (siap bertelur) berumur sekitar 60 hari, yang diambil dari peternakan rakyat.
Bahan Penelitian
  1. Bahan pakan berupa jagung, kedelai, dedak, tepung ikan, minyak kelapa, CaCO3 dan Premix.
  2. Air minum
Alat Penelitian
1.   Kandang koloni yang terbuat dari belahan bambu dengan ukuran 18 x 1,5 m² sebanyak 18 unit, dengan ukuran 1 x 1,5 m² untuk masing-masing unit. dengan litter sekam.
2.   Tempat ransum gantung terbuat dari plastik kapasitas 5 kg sebanyak 12 unit.
3.   Tempat pakan berupa bak kecil terbuat dari plastik sebanyak 12 unit.
4.   Tempat air minum berupa bak besar terbuat dari plastik sebanyak 18 unit.
5.   Kantong plastik sebagai tempat penyimpanan pakan sementara sebanyak 18 unit.
6.   Timbangan dengan kapasitas 20 kg dengan kepekaan 0,1 g untuk menimbang pakan dan bobot  telur.
7.               Penggaris  berskala untuk mengukur lebar tulang pubis, jarak tulang dada dengan tulang pubis.

Metode penelitian Penlitian
Lokasi Penelitian
            Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terapan (Teaching Farm) Fakultas Peternakan Universitas Mataram, di Kecamatan  Lingsar, Lombok Barat.
Waktu Pelaksanaan
            Penelitian ini dilakukan selama 60 hari, dimulai pada tanggal 3 November 2008 sampai dengan 3 Januari 2009.
Pelaksanaan Penelitian
Itik lokal Lombok dara umur sekitar 6-7 bulan, sebanyak 90 ekor dibagi secara acak  menjadi 3 kelompok dan  masing-masing kelompok 6 sub kelompok, sehingga keseluruhan terdiri dari 18 sub kelompok. Dipelihara dalam kandang berukuran 1.5 x 1 m. Pakan yang diberikan merupakan pakan yang diformula untuk itik petelur, mengandung 17,43 % protein kasar dengan ME 2806 Kkal/kg.  Penelitian dilakukan selama 60 hari, pakan dan minum  secara ad libitum.
Variabel yang diamati
  1.  Bobot badan ternak itik, diamati dengan cara menimbang satu persatu dari ternak itik tersebut.
  2.  Jarak tulang pubis,  dilakukan dengan mengukur jarak antara tulang pubis
  3.  Jarak tulang pubis  dengan tulang dada.
  4. Produksi telur harian selama 60 hari

Analisa Data
Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisa dengan menggunakan analisa deskriptif – kualitatif. Untuk mengetahui hubungan antara jarak tulang pubis dan produksi telur digunakan regresi linier (Kaps and Lamberson, 2004) dengan bantuan program  Statistical Analysis System ( SAS, 1996).  










BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN  
Gambaran Umum Performan
Produksi harian, bobot badan, lebar tulang pubis dan jarak tulang pubis dan dada pada itik setelah 60 hari produksi disajikan pada Tabel 3, sedangkan parameter produksi kumulatif  disajikan pada Tabel 4.
Tabel 2.  Rataan produksi harian, bobot badan, lebar tulang pubis dan jarak tulang pubis dengan dada pada itik lokal Lombok setelah 60 hari produksi.
Parameter
Rataan
SE
Produksi telur harian (butir/ekor)
3,91
3,26
Bobot  badan (g/ekor)
1401,50
29,46
Lebar tulang pubis (cm)
3,54
0,51
Jarak tulang pubis dengan dada (cm)
6,62
0,27
   Sumber : Data Primer 2009
  Tabel 3. Rataan hasil pengukuran produksi kumulatif yaitu konsumsi pakan, produksi
    telur, bobot telur dan konversi pakan.

Parameter


Rataan
SE
Konsumsi pakan (g /ekor/hari)
549,66
41,37
Produksi telur (%)
39,27
19,60
Bobot  telur (g/butir)
63,80
1,44
Konversi pakan
40,87
1,21
Sumber : Data Primer 2009

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi telur cukup rendah yaitu dengan rataan 3,91 ± 3,26 butir/ekor dengan persentase 39,27 ± 19,60%. 
Produksi Telur Harian

            Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan produksi telur itik lokal  mencapai rataan 39,27 ±19,60 %. Tabel 5 dan Tabel 4 rataan produksi telur hanya mampu mencapai 3,91 ±3,26 butir/ekor/60 hari. Ada beberapa penyebab rendahnya produksi telur itik pada penelitian ini: (1). Umur itik yang tidak seragam karena berasal dari peternakan rakyat (2). Latar belakang genetik yang berbeda, hal ini diamati dari bentuk atau postur tubuh serta warna kerabang telur yang tidak seragam. Faktor lain diluar kontrol penelitian adalah penyinaran yang kurang, dimana penelitian dilakukan pada musim hujan dan manajamen pemeliharaan pada masa pertumbuhan.
Menurut Rasyaf (1991) dan Reksohadiprojo (1990) menyatakan, bahwa itik Khaki Cambell dapat memproduksi telur dengan rataan 250-300 butir/ekor/tahun atau 55-65% dan rataan bobot telur 60 g dengan warna kerabang putih.














Tabel 4. Rataan produksi harian itik pada masing-masing kelompok yang diukur selama 60 hari produksi.
Ulangan
Kelompok
P1
P2
P3
1
17,78
22,54
14,92
2
18,41
7,62
11,43
3
25,08
14,28
16,51
4
19,68
20,63
14,92
5
11,11
28,57
38,09
6
20,00
24,44
20,32
Total
112,06 butir
118,08 butir
116,19 butir
Rataan
18,67 butir
19,68 butir
19,36 butir
SE
4,51 butir
7,55 butir
9,61 butir
Sumber : Data Primer 2009
          Itik Khaki Cambell memperlihatkan tingkat produksi telur 27% lebih tinggi dibandingkan dengan itik Alabio maupun itik Bali dan 33% lebih tinggi dari itik Tegal (Srigandono, 1991). Hasil penelitian ini, itik hanya mampu memproduksi telur 19,55% dengan rataan 19,23 butir/kelompok. Sangat jelas terlihat bahwa produksi telur itik lokal sangat rendah bila dibandingkan dengan itik Khaki Cambell dan Alabio maupun Itik Bali.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi produksi telur unggas, antara lain jarak tulang pubis, bobot badan dan jarak pubis dengan dada.
1. Jarak Tulang Pubis
            Estrogen yang dihasilkan oleh ovarium mempengaruhi perkembangan tulang pubis dan kloaka. Terjadinya relaksasi ini akan mempermudah proses bertelur pada ternak unggas. Letak tulang pubis pada bagian sekitar kloaka, apabila tidak terjadi relaksasi tulang pubis pada saat proses bertelur, mengakibatkan kesulitan bertelur pada unggas. Ukuran perenggangan tulang pubis sekitar 2 (dua) jari tangan bila dibandingkan dengan ukuran besar telur, maka secara otomatis telur tidak bisa melewati tulang pubis tersebut.
Jarak tulang pubis ternak itik lokal Lombok pada penelitian ini adalah 3,54 ± 0,51 cm/ekor dan lebih lebar dari jarak tulang pubis itik Tegal, itik Magelang dan itik Damiking. Seperti hasil penelitian Sopiyana dkk., (2005) menunjukkan hasil rataan jarak tulang pubis relatif sama yaitu itik Tegal 3,05 cm, itik Magelang 3,00 cm, dan itik Damiaking 3,01 cm. Perbedaan ini menunjukkan perbedaan genetik dan perbedaan kemampuan produksi.
Mengutip pendapat Nick (2008), bahwa ciri-ciri ternak betina yang baik adalah badannya cukup besar dan perutnya luas. Jarak antara tulang dada dan tulang belakang (pubis) kurang lebih 4 (empat) jari serta jarak antara dua tulang pubis lebih kurang 2 (dua) jari. Mengutip dari hasil penelitian (Argono, 2005 disirtasi ismoyowati (2006), jarak tulang pubis antara tiga itik tersebut relatif sama yaitu itik Tegal 3,05 cm, Itik Cirebon 3,76 cm dan Itik Turi 3,23 cm. Sering sekali jarak tulang pubis digunakan sebagai penduga kemampuan produksi telur, maka produksi telur ketiga jenis itik tersebut tidak akan jauh berbeda.
Bila hal ini dijadikan sebagai salah satu gambaran terhadap produksi telur dari itik lokal Lombok, maka produksi telur harian dari itik Lombok akan lebih tinggi dari ketiga jenis ternak tersebut dan lebih rendah dari itik Cirebon dengan tulang pubis yang lebih lebar (3,76 cm), sebab jarak lebar tulang pubis itik Lombok lebih lebar dari ketiga jenis itik tersebut. Sesuai hasil penelitian Ismoyowati dkk (2006), bahwa terdapat korelasi yang tidak nyata antara produki telur harian dengan bobot badan, lingkar dada dan lingkar perut.
Rataan produksi telur harian dari itik lokal Lombok hanya sekitar 3,54 ± 0,51 butir/ekor/60 hari. Hasil ini menunjukkan produksi yang sangat rendah, oleh karena itu jarak tulang pubis tidak bisa menjadi penduga kemampuan produksi telur harian dari itik lokal Lombok pada penelitian ini.
Tabel 5 : Rataan lebar tulang pubis berdasarkan kriteria kisaran jarak tulang pubis dari lebar 1–≤ 6 cm.
Lebar Pubis (cm)
1-1,9
2-2,9
3-3,9
4-4,9
5-5,9
≤6
∑ ternak (ekor)
11
21
23
24
8
2

Grafik 1 : Rataan lebar tulang pubis berdasarkan kriteria kisaran jarak tulang pubis dari lebar 1- ≤ 6 cm.

Apabila jarak tulang pubis pada masing-masing ternak itik dikelompokkan berdasarkan jaraknya, maka akan terlihat pada grafik 1 dan tabel 6. Ada beberapa itik yang memiliki jarak tulang pubis yang masih sempit. Apabila dihubungkan dengan produksi telurnya, terlihat ada beberapa itik yang belum produktif. Dengan demikian tentu berpengaruh terhadap jumlah rataan produksi telur hariannya.
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa pengelompokkan itik berdasarkan lebar tulang pubisnya, menunjukkan sekitar ±32 ekor itik memiliki tulang pubis yang sempit berkisar antara 1-2,99 cm. Itik-itik tersebut diidentifikasi belum mulai bertelur. Itik lokal yang digunakan tidak seragam artinya dalam populasi ini terdapat itik yang sudah dalam masa produksi dan ada yang belum berproduksi (menjelang bertelur). Ketidak seragaman sampel membuat rataan produksi telur menjadi rendah. Bila jarak tulang pubis ayam broiler pada tabel 2 dijadikan sebagai panduan, maka jarak lebar tulang pubis itik yang sudah mulai bertelur menjadi lebih lebar. Terjadinya pelebaran tulang pubis pada itik betina, merupakan indikasi dewasa kelamin dan sebagai akibat dari terjadinya relaksasi tulang pubis pada proses bertelur. Untuk itu ukuran perenggangan tulang pubis itik yang sudah produktif  menjadi lebih lebar.
Grafik 2 : Rataan jarak tulang pubis pada masing-masing kelompok itik.
Grafik ini menggambarkan bahwa lebar pubis pada kelompok satu (P1) paling tinggi dari kelompok yang lain, tetapi produksi telur P1 paling rendah dibandingkan P3 yang memiliki tulang pubis paling rendah dengan produksi telur yang lebih tinggi dari P1. Begitu juga P2 dengan rataan produksi telur paling tinggi 19,68±7,55 butir dengan lebar pubis kedua terlebar yaitu 3,71 ± 0,51 cm. Hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa tidak selamanya lebar tulang pubis menggambarkan produksi telur itik.
Menurut Hardjosworo dkkl. (2001) dan Samosir (1983), bahwa jarak tulang pubis yang lebar menunjukkan terjadinya masak kelamin (mulai bertelur) dan ditunjukkan dengan perut yang besar dan jarak tulang pubis yang lebar.

2. Bobot  Badan
Bobot badan ternak unggas juga diduga memiliki hubungan terhadap produksi telur. Bobot badan dapat diperoleh dengan cara melakukan penimbangan itik secara satu persatu ataupun penimbangan beberapa ternak secara sekaligus, sehingga hasil penimbangan dibagi dengan jumlah ternak yang ditimbang secara bersamaan tersebut.

Grafik 3 : Rataan  bobot  badan pada masing-masing kelompok ternak itik.
Dari penelitian ini menunjukan bahwa, rataan bobot badan itik lokal Lombok adalah 1401,26±29,46 g/ekor. Bila bobot  badan itik lokal ini dibandingkan dengan bobot  badan itik lain, maka seperti hasil penelitian (Argoroa, 2005 disirtasi ismoyowati, 2006) menunjukkan bobot badan pada itik Tegal 1571,18; itik Menggala 1523,26 dan itik  Damiaking 1610,00 g/ekor.
Hasil ini menunjukkan perbedaan antara bobot badan itik  lokal Lombok dengan ketiga jenis itik  tersebut, ini disebabkan karena  perbedaan umur  yang dapat dilihat dari beberapa telur yang dihasilkan mempunyai  bobot  yang sangat rendah. Bobot  telur yang rendah ini mempunyai indikasi bahwa itik tersebut baru mulai bertelur dan juga berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada tabel 2. Penurunan bobot badan itik lokal Lombok juga terjadi disebabkan adanya perubahan lingkungan dari itik yang biasanya hidup secara bebas menjadi pemeliharaan intensif mengakibatkan itik stres  pada lokasi penelitian.
Hubungan bobot badan dengan produksi telur harian itik Lombok, terlihat tidak memiliki hubungan yang nyata dengan rataan produksi telur harian mencapai 3,91 ± 3,26 butir/ekor/60 hari. Untuk mengetahui keeratan hubungan antara bobot badan itik lokal terhadap rataan produksi harian, maka dilakukan pengelompokkan dalam 3 kelompok. Ternyata hasil yang ditunjukkan oleh itik lokal berbeda-beda, baik rataan produksi telur, bobot  badan dan bobot  telur yang dihasilkannya.
Mengutip dari hasil penelitian Saleh (2004), menyatakan bahwa bobot  standar tubuh itik pada usia 20 minggu adalah 1.350-1.400 g. Itik yang mempunyai bobot badan kurang atau lebih dari bobot standar umumnya terlambat bertelur disebabkan itik majir atau kegemukan.
Grafik 4 : Bobot  badan ternak itik yang disesuaikan dengan klasifikasi jarak tulang pubis.


Dari grafik ini dapat dilihat perbedaan antara bobot badan terhadap  masing-masing klasifikasi lebar tulang pubis dari yang terendah sampai tertinggi yaitu berkisar antara 1-≤6 cm. Ternyata dari hasil ini terlihat bahwa pada lebar tulang pubis yang berkisar dari 5-5,9 cm, memiliki bobot  badan yang tertinggi dari bobot  badan itik yang lainnya, diikuti juga oleh itik yang mempunyai lebar tulang pubis yang berkisar antara 2-2,9; 4-4,9; 3-3,9; ≤ 6 cm  dan yang terendah terdapat pada itik  yang memiliki lebar tulang pubis yang berkisar antara 1-1,9 cm.
            Hasil ini menunjukkan bahwa terjadinya pelebaran tulang pubis dapat secara maksimal dipengaruhi oleh bobot badan ternak. Jarak tulang pubis yang baik adalah  dengan jarak 4 jari yang bila diukur lebarnya ± 4-5 cm.
Grafik 5 : Hubungan antara bobot badan (g) dengan lebar tulang pubis (cm) pada itik lokal umur.
              
Grafik ini menggambarkan bahwa lebar tulang pubis dengan bobot badan tidak memiliki hubungan. Dimana hasil perhitungan korelasi menunjukkan persamaan Y = 0,0044x-2.633 dengan koefisien korelasi r = 0,29.
Bila melihat standar bobot  badan (Saleh. 2004), menunjukkan bahwa itik sampel  pada penelitian ini sebagian besar sudah mencapai  bobot  standar tubuh itik, akan tetapi produksi hariannya tetap rendah dan ada beberapa yang belum mencapai bobot  standar yaitu pada itik yang memiliki kisaran tulang pubis 1-1,9 cm dengan rataan bobot badan 1289,64 g/ekor. Tentu saja hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah rataan produksi telur.
 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan  Ismoyowati dkk. (2006) menyatakan bahwa, berdasarkan hasil penghitungan uji korelasi yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara ukuran tubuh dengan produksi telur, diperoleh petunjuk bahwa terdapat korelasi yang tidak nyata (P>0,05) antara bobot  badan, lingkar dada dan lingkar perut dengan produksi telur. Jadi tidak selamanya bobot badan itik bisa digunakan sebagai gambaran kemampuan produktifitasnya.

3. Jarak Antara Tulang Pubis Dengan Dada
Jarak antara tulang pubis dengan dada merupakan salah satu faktor fisiologis ternak unggas yang diduga memiliki hubungan dengan produksi telur. Dimana sering didengar di masyarakat bahwa untuk memilih ternak yang baik hanya dilihat dari penampilan eksterior saja tanpa melihat faktor-faktor yang lain seperti faktor genetik atau keturunan dari ternak yang digunakan sebagai bakalan tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, rataan hasil pengukuran jarak antara tulang pubis dengan dada sebesar 6,62 ± 0,27 cm/ekor. Hasil pengukuran penelitian ini menunjukkan hasil yang bagus, dimana ukuran jarak antara tulang pubis dengan dada mencapai ukuran normal yaitu dengan jarak antara tulang pubis dan tulang dada mencapai sekitar 4 jari.
Untuk mengetahui rataan jarak tulang pubis dengan dada, antara masing-masing kelompok disajikan pada grafik berikut.
                  Grafik 6 : Jarak pubis dengan tulang dada pada masing-masing kelompok itik.
Dari grafik 6 terlihat bahwa jarak tulang pubis dengan dada terlihat bahwa P1 memiliki jarak yang lebih lebar, diikuti P3 dan terendah pada P2. Dilakukan pengukuran jarak tulang pubis dan tulang dada untuk mengetahui berapa besar pengaruh panjang perut terhadap produksi telur.
Melihat hubungan rataan bobot  badan dengan jarak tulang pubis dan tulang dada, pada P1 antar (grafik 3 dan 6) terlihat antara bobot  badan dan jarak tulang pubis dengan dada yang tertinggi, hasil ini memperlihatkan adanya hubungan. Diindikasikan semakin tinggi bobot badan dari itik, maka semakin lebar jarak antara tulang pubis dengan tulang dadanya. Secara otomatis memberikan peluang konsumsi pakan menjadi meningkat. Besarnya jarak antara tulang pubis dengan dada membuat rongga dada dan perut menjadi lebih panjang sehingga daya tampung pakan didalam tubuh menjadi meningkat.
Namun bila melihat rataan produksi telurnya pada P1, ternyata memiliki rataan terendah bila dibandingkan dengan P2 dan P3. Hasil ini menunjukan bahwa jarak dada dan tulang dada tidak memiliki hubungan.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
            Penampilan eksterior dari ternak unggas tidak selalu memberikan gambaran terhadap kemampuan produksi telurnya. Performan bobot  badan, jarak tulang pubis dan jarak antara tulang pubis dengan dada memiliki hubungan yang kecil karena perbedaan keseragaman itik dan perbedaan genetik.
Saran-saran
Penelitian ini menyarankan bahwa :
1.      Keseragaman ternak baik umur dan latar belakang genetik sangat penting untuk memperoleh hasil yang akurat.
2.      Perlu memperhatikan faktor penyebab stres terutama pada ternak itik yang tergolong unggas yang mudah stres.








DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1974. Aneka Ternak Unggas. PT. Gramedia Pustaka. Pustaka Utama Jakarta.
Arbor Acres. 2006. Breeder Arbor Acres Management Guide
Bell, R.E. 1998. A potential high protein feed source for domestic animals and fish. A report for the Rural Industries Research and Development Corporation.
Bhartono, Kum D.,2001. Cara Beternak Itik. Aneka Ilmu. Semarang
Cahyono.S.1995.Budidaya itik. Effhar.Semarang.
Cahyono, Bambang, 2000. Budi Daya Itik.Dharma.Semarang
Campbell, J.R, and J.F, lasley, 1977. The Science of Animal That Serve Menkind Tata Mc. Graw Hill. New Dalhi.
Clark, W.D., W. R. Cox, and  F. G. Silversides. 2008. Bone fracture incidence in end-of-lay high-producing, noncommercial laying hens identified using radiographs. Poultry Science 87:1964–1970 doi:10.3382/ps.2008-00115
Dedi,Irawan. 2009. Analisis Faktor Penyebab Kegagalan Usaha Peternakan Itik Di Kabupaten Lombok Tengah. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Hanartani, 1990. Pengelolaan Produksi Ternak Unggas. Diktat. Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Mataram.
Hardjosworo, P.S., Sugandi, D dan D.J. Samosir.1980.  Pengaruh perbedaan kadar protein dalam ransum terhadap pertumbuhan dan kemampuan produksi itik yang dipelihara secara terkurung.  Laporan Penelitian Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.  Bogor. 150.p.
Hardjosworo, P.S.   1990.  Usaha-usaha peningkatan manfaat itik Tegal untuk produksi telur.   Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Dalam: Prociding Temu Tugas Sub Sektor Peternakan, Pengembangan Ternak Itik Di Jawa Tengah.  pp: 6-9.
Hardjosworo.P.S. 1994. Upaya untuk Mencari Fisik Petelur Lokal Betina yang Baik. Lebar Rentang Pubis Itik Lokal Betina pada saat Masak Kelamin. Media Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. P: 1-5.
Hamre, M.L. 2008. Evaluating egg production hens. www.extension.umn.edu/distribution/livestocksystem/
Haryoto, 1990. Pengawetan Telur Segar. Penerbit Kanisius, Jakarta.
Ismoyowati, T. Yuwanta, J. P. H.Sidadolog, dan S. Keman.2006. Hubungan Antara Karakteristik Morfologi Dan Performans Reproduksi Itik Tegal Sebagai Dasar Seleksi. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Kaps, M and  W. Lamberson. 2004. Biostatistics for Animal Science. CABI Publishing. Wallingford,UK
Masitta Tanjung. 2007. Regulasi Hormon Terhadap Ekspresi Gen Pada Ayam hutan (Gallus sp). Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Program Studi Biologi. Universitas Sumatera Utara. . http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/823/1/biologi-masitta.pdf
Muslim, D.A., 1992. Budidaya Mina Padi Itik. Kanisius. Yogyakarta
National Research Council (NRC). l994.  Nutrient Requirements of Poultry.  Ninth        Revised Edition.  National Academy Press, Washington, D.C.
Rahardjo,Y.1988. Pengaruh berbagai tingkat protein dan energi terhadap produksi dan kualitas telur itik.  Seminar Nasional Peternakan dan Forum Peternak “Unggas dan Aneka Ternak II.  Bogor. 
Resi,Kapur.2009. Pengaruh Sistem Pemberian pakan yang menganduang Duckweed terhadap produksi telur itik lokal. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Rasyaf, 1985. Pengelolaan Penetasan. Kanisius, Yogyakarta.
………, 1988. beternak itik komersil edisi kedua.Kansius.Yogyakarta.
………, 1996. Memasarkan Hasil Peterernakan. Penebar Swadaya. Jakarta
Reksohadiprojo, S.,1990.Pengantar Ilmu Ternak Tropis. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta
Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff, 1963. The Avian Egg. Second Edition. Jhon Willey and Sons, Inc. New York
Saleh, Eniza.,2004. Pengelolaan Ternak Itik Di Pekarangan Rumah. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Samsosri, D.J.,1990. Ilmu Ternak Itik. PT.Gamedia.Jakarta
Setiawan, I. 2009. http://74.125.153.132/search?q=cache:4_m1o69H02YJ: centralunggas.blogspot.com/2009_03_01_archive.html+fisiologis+pubis+pada+itik&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id
Satterlee, D.G.  and R. H. Marin. 2004.  Pubic Spread Development and First Egg Lay in Japanese Quail.  Journal  Applied Poultry Research 13:207–212
SAS Institute. 1996. Statistical Analytical System User’s Guide. Version 6.12 ed. SAS Institute  Inc., Cary, NC.
Sopiyana.S, Riosetioko.A. dan Sunandar.T. 2005. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. http://peternakan.litbang.deptan .go.id/publikasi/semnas/pro05-113.pdf
Suharno,B.,1996. Beternak Itik Secara Intensif. Penerbit Suadaya. Jakarta
Srigandono, 1991. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta
Sturkei, P.D. 1987. Avian Physiology. The 3ⁿd Ed. Spinger-Verlag. New York.
Syamsuhaidi, 1999.  Pakan alternatif pada Ayam Buras di Nusa Tenggara Barat.  Materi disampaikan pada “Temu Teknologi Peternakan”.Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara  Barat.  Mataram.
Tamsil, M.H, Hardjosworo, P.S., Sihombing, D.T.H. dan W.Manalu, 1999.  Pengaruh pembatasan pemberian pakan terhadap penundaan masak kelamin itik Lokal yang cenderung masak kelamin dini.  Media Veteriner.  Majalah Ilmu Kedokteran Veteriner Indonesia. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertaniuan Bogor. 6(2): 11-15.
Tamsil, M.H., 2002. Survei Komoditi Unggulan Pulau Lombok.  Kerjasama antara Pusat Penelitian Agribisnis Universitas Mataram dengan Dirjen Pertanian Jakarta.
Whendrato, I dan Madyana, LM, 1986. Beternak Itik Tegal Secara Populer. Eka ffset, Semarang. 
Wotton, M., 1978. Eggs and Eggs Product, Dalam Buckle,K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. G. and M. Wootton. A Course Manual in Food Science. Printed and Bound by Watson Ferguson and Co., Brisbane.
Winter, A.R. and E.M. Funk, 1960. Poultry Science and Practice. 5" Ed., J. B. Lippincott Company, Chicago, Philadelphia, New York.
Yuanta.Try.2004. Dasar Ternak Unggas.Kanisus.Yogyakarta